Aku, Alumnus Tsunami Jilid 3
Setelah terjangan gelombang tsunami pertama, air laut sempat menggenang sedalam 4 meter selama puluhan menit di pohon tempat aku bertahan. Ternyata, bukan di pohon ini saja yang berpenghuni. Disana, di pohon kelapa, pohon mangga, dan atap rumah, ada beberapa orang lelaki yang berhasil menyelamatkan diri. Ya….. umumnya hanya lelaki yang berhasil memanjat tempat yang lebih tinggi.
Pohon yang kutumpangi tidaklah
kokoh seperti semula, kira-kira telah miring 30 derajat terhadap garis vertikal.
Langsung aku berfikir keras untuk
menyusun strategi, apabila kemungkinan terburuk terjadi, yaitu datangnya gelombang susulan yang lebih
dahsyat. Timbullah ide untuk berpindah ke pohon mangga, jika kemungkinan buruk itu
terjadi. Karena pohon mangga di dekat tempat aku bertahan, batangnya lebih
besar dan kokoh serta jaraknya hanya sekitar 10 meter saja. Dengan kemahiran
berenang yang aku miliki, aku yakin bisa sampai ke pohon mangga tersebut dan
menjadi penghuni yang kedua.
Sembari berfikir strategi tadi,
aku mencoba mengeringkan rambutku yang basah terkena air lumpur tsunami.
Tiba-tiba wanita yang selamat bersamaku tadi, memecahkan lamunanku. “Dek!,
tangannya luka tu”. Spontan aku menoleh ke bagian yang ditunjuk kakak itu.
Terdapat luka gores sepanjang 6 cm di lengan dalam sebelah kiri dekat ketiak. Lebar
luka tersebut kira-kira 0,5 cm. waktu itu perihnya tidak terasa, sampai aku tidak
tahu ada luka di lenganku. Dan prediksiku, itu terjadi saat bajuku terobek dan
terlepas dibawa arus. Saat itu hanya di pelipis kanan saja yang terasa sakit
setelah dihantam kayu .
Tak berselang lama, remaja yang
bersamaku di pohon tempat aku bertahan memberi isyarat dengan jarinya untuk menyuruhku
melihat ke bawah. Ternyata, di sana ada seorang remaja putri yang sudah
terlungkup dan mengapung tepat di bawah pohon yang aku tumpangi dan maaf sudah
tidak berpakaian lagi.
Suasana saat itu sangat sepi,
seperti berada dalam hutan tanpa kicauan burung. Bahkan, angin sepoi-sepoi
seperti mogok kerja. Hanya mentari di waktu dhuha, yang melototi hingga air di
rambut dan kulitku mengering.
Sekuat apapun laki-laki, sekekar
apapun ia, kulihat banyak diantara mereka yang menangis tersedu-sedu di sana. Aku
hanya bisa melamun mengingat kejadian yang tanpa terduga dan di luar nalar berpikirku
serta berdoa dalam hati, semoga kakak kandungku selamat.
Air belum kembali ke laut, seolah
ia ingin mendengar suara tangisan dan rintihan atau apa saja yang keluar dari
mulut anak manusia terhadap aksi mereka. Sesekali terdengar rintihan orang
minta tolong di balik tumpukan sampah tsunami yang menggunung. “bisa berenang,
dek?” tanya seorang penghuni pohon kepadaku, yaitu seorang bapak yang sama-sama
sedang berjuang untuk hidup. Aku tahu arah pertanyaan itu kemana, yaitu pergi
menolong orang yang meminta bantuan tersebut dengan cara harus melintasi
genangan air lumpur yang tingginya hingga 4 meter. Pertanyaan itu juga membuatku
teringat peristiwa satu tahun yang lalu, dimana aku spontan menolong salah satu
mahasiswa tenggelam yang ikut rombongan wisata ke sebuah sungai yang sangat
jernih di wilayah Aceh Besar. Namun, karena tanpa berpikir panjang, aku hampir
ikut menjadi korban. “Maaf pak, saya pernah menolong orang tenggelam, tapi dia
naik kepundak saya, sehingga saya jadi ikut tenggelam. Jadi, saya trauma. Tapi,
kalau ada tali yang menghubungkan antara saya dengan pohon ini, saya berani menuju
ke tumpukan sampah itu”, jawabku. Ia pun memahami dan akhirnya kami hanya bisa
mendengar rintihan itu, tanpa bisa berbuat apa-apa.
Diam dan sesekali harus berkelahi
dengan serdadu semut yang sedari tadi terus mencoba mengusirku dari daerah
kekuasaannya. sambil menunggu air surut dan berharap adanya helicopter yang
datang menolong kami seperti di luar negri. Kemudian, pikiranku mulai kacau. Pertanyaan
demi pertanyaan terus muncul di kepalaku. Apakah keluargaku di Langsa juga kena
tsunami, apakah seluruh dunia terkena dampaknya, apakah kota Banda Aceh juga
lenyap di telan tsunami, mau kemana lagi setelah ini, apakah ada bantuan secepat
kilat yang datang menjemput atau aku akan mati sebentar lagi? Kembali wanita
itu merusak lamunanku dengan bertanya “ Dek, itu suara azan, ya?. Aku mencoba
untuk mendengarnya, dan ia benar ada suara azan yang terdengar sayup-sayup di
sebelah timur. Tanpa dikomando akupun ikut mengumandangkan azan di pohon tempat
aku bertahan. Setelah azan selesai, aku pekikkan takbir dengan lantang di
setiap arah. “ Allahu Akbar….!!!!”, di arah Selatan dan aku mendengar ada balasan
sahutan takbir pula dari arah tersebut. Kemudian, ke arah Barat dan Utara. Keduanya,
mendapat sahutan takbir kembali. Terakhir, aku arahkan takbir ke sumber suara,
yaitu kea rah Timur, tapi tidak ada jawaban di sana. Sempat terlintas
pertanyaan dalam hati, kenapa tidak ada balasan?
Setelah itu, suara tangisan
berubah menjadi zikir masal. Banyak lantunan “ Laailahaillallah” , istighfar,
dan takbir, sayup-sayup terdengar. Alhamdulillah, banyak orang kembali
mengingat Allah SWT, dimana sebelumnya hanya tangisan yang terdengar atau hanya
diam termenung, sambil menunggu air kembali surut.
Setelah beberapa menit air
menggenang, perlahan ia mundur kembali ketempat kediamannya semula, laut. Tidak
memakan waktu begitu lama, hanya sekitar 5 menit saja, air setinggi 4 meter
hilang bak ditelan bumi. Tanpa dikomando, beberapa orang mulai turun dari atas
pohon dan atap rumah. Diantara mereka ada yang mencoba untuk mencari keluarganya,
dan ada pula yang kembali menangis histeris sambil memukul-mukul sisa air yang
menggenang di tanah. Ya…., seorang pria berbadan kekar menangis histeris, aku
lihat ia duduk bersimpuh, mungkinkah semua harta dan keluarganya sudah habis
digusur oleh air tsunami?
Aku mencoba untuk ikut turun,
tetapi bapak yang bersama kami melarang untuk turun. Dia menyarankan, agar
menunggu beberapa menit lagi, sampai keadaan benar-benar aman. Prediksi bapak
itu tidak meleset, karena tidak begitu lama air itu surut, kami melihat dengan
mudahnya dari atas pohon, gelombang tsunami kembali terlihat di bibir pantai. Maklum,
bangunan rumah penduduk hanya tinggal pondasinya saja, sehingga setiap orang
walaupun tidak berada di atas ketinggian, bisa melihat bibir pantai dan suara
ombak dengan jelas. Padahal, jarak kami dengan pantai lebih kurang 3 km.
“ek….Lo….m !!!, ek…..lo….m!!!” (naik
lagi !!!, naik lagi !!!), suara intruksi atau sekedar informasi itu terdengar
dengan jelas. Sehingga, setiap orang yang mendengarnya, pasti akan lari menuju
tempat yang lebih tinggi atau lebih tepatnya kembali ke posisi semula.
Gelombang itu semakin mendekat
dan aku mencoba untuk menjalankan rencana yang telah aku buat. Tapi, usulan
bapak itu membuatku membatalkan rencana tadi. Dia mengusulkan agar semua yang
berada di atas pohon, bekerja sama untuk menyingkirkan semua sampah (TV,
Kulkas, Komputer, Kayu, Kasur, seng, dsb) yang nantinya datang dibawa arus tsunami,
agar tidak menumpuk di pohon tempat kami bertahan. Hal ini dapat berakibat
fatal, karena dapat membuat pohon terus miring dan akhirnya bisa tumbang. Ide
yang cemerlang menurutku, karena menjadi sebuah “tim penyelamat bersama” lebih
baik daripada hanya berupaya untuk menyelamatkan diri sendiri.
Kulihat arus semakin kencang,
walaupun ketinggian gelombang tidak sedahsyat yang pertama. Tapi, ia juga bisa
membawa malapetaka dengan mendatangkan jutaan sampah yang terus mendesak dan
mendorong siapa saja yang dilewatinya. Jantungku mulai berdetak kencang, keringat
dingin mulai keluar. Arus gelombang kedua itu terus-menerus mendekat dengan
semangat. Ibarat sebuah kumpulan pasukan yang mulai datang menyerang dengan
tombak dan hunusan pedang.
Bersambung ……